SEJARAH
Sebelum Reformasi
Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada
sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur,
yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan
dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di
kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari
kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.
Seorang peneliti Belanda, W.F.
Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman
Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa
(1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani
masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin
oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi
para dhyaksa tadi.
Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya
yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas
(opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van
Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih
terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa.
Pada masa pendudukan Belanda, badan yang
ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar
Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan
sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad
(Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi ) dan
Hooggerechtshof (Mahkamah Agung ) dibawah perintah langsung dari Residen
/ Asisten Residen.
Hanya saja, pada prakteknya, fungsi
tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda belaka.
Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan belanda
mengemban misi terselubung yakni antara lain:
- Mempertahankan segala peraturan Negara
- Melakukan penuntutan segala tindak pidana
- Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang
Fungsi sebagai alat penguasa itu akan
sangat kentara, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan
dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht
(WvS).
Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya
lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh
Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942,
yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan
No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang
pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan agung), Koootooo Hooin
(pengadilan tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan negeri). Pada masa
itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk:
- Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran
- Menuntut Perkara
- Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.
- Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.
Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti
itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu
ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas
oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan
bahwa sebelum Negara R.I. membentuk badan-badan dan peraturan negaranya
sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan
dan peraturan yang ada masih langsung berlaku.
Karena itulah, secara yuridis formal,
Kejaksaan R.I. telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan,
yakni tanggal 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19
Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik
Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman.
Kejaksaan RI terus mengalami berbagai
perkembangan dan dinamika secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu
dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga
kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22 periode
kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring dengan perjalanan sejarah
ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta tata
cara kerja Kejaksaan RI, juga juga mengalami berbagai perubahan yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara
dan sistem pemerintahan.
Menyangkut Undang-Undang tentang
Kejaksaan, perubahan mendasar pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat
pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI. Undang-Undang ini menegaskan
Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai
penuntut umum (pasal 1), penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan
dilakukan Menteri / Jaksa Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang
diatur oleh Keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang
Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan
dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16
tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi.
Pada masa Orde Baru ada perkembangan
baru yang menyangkut Kejaksaan RI sesuai dengan perubahan dari
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1991, tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga
mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara
institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden No.
55 tahun 1991 tertanggal 20 November 1991.
Masa Reformasi
Masa Reformasi hadir ditengah gencarnya
berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak
hukum yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena
itulah, memasuki masa reformasi Undang-undang tentang Kejaksaan juga
mengalami perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991.
Kehadiran undang-undang ini disambut gembira banyak pihak lantaran
dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas
dari pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya.
Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I.
adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam
bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”.
Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai
kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi
Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke
Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum
Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga
merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive
ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini
dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI
sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan.
Mengacu pada UU tersebut, maka
pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus
dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat
(2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka.
Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas
dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan
tugas profesionalnya.
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
R.I. juga telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :
(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
- Melakukan penuntutan;
- Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
- Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat;
- Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
- Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha
negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di
luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
- Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
- Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
- Pengamanan peredaran barang cetakan;
- Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
- Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
- Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.
Selain itu, Pasal 31 UU No. 16 Tahun
2004 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk
menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa,
atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri
sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahyakan orang lain,
lingkungan atau dirinya sendiri. Pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun
2004 tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut
dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang
lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan
kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara
atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan
dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi
pemerintah lainnya.
Pada masa reformasi pula Kejaksaan
mendapat bantuan dengan hadirnya berbagai lembaga baru untuk berbagi
peran dan tanggungjawab. Kehadiran lembaga-lembaga baru dengan
tanggungjawab yang spesifik ini mestinya dipandang positif sebagai mitra
Kejaksaan dalam memerangi korupsi. Sebelumnya, upaya penegakan hukum
yang dilakukan terhadap tindak pidana korupsi, sering mengalami kendala.
Hal itu tidak saja dialami oleh Kejaksaan, namun juga oleh Kepolisian
RI serta badan-badan lainnya. Kendala tersebut antara lain:
- Modus operandi yang tergolong canggih
- Pelaku mendapat perlindungan dari korps, atasan, atau teman-temannya
- Objeknya rumit (compilicated), misalnya karena berkaitan dengan berbagai peraturan
- Sulitnya menghimpun berbagai bukti permulaan
- Manajemen sumber daya manusia
- Perbedaan persepsi dan interprestasi (di kalangan lembaga penegak hukum yang ada)
- Sarana dan prasarana yang belum memadai
- Teror psikis dan fisik, ancaman, pemberitaan negatif, bahkan penculikan serta pembakaran rumah penegak hukum
Upaya pemberantasan korupsi sudah
dilakukan sejak dulu dengan pembentukan berbagai lembaga. Kendati
begitu, pemerintah tetap mendapat sorotan dari waktu ke waktu sejak
rezim Orde Lama. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang lama yaitu UU
No. 31 Tahun 1971, dianggap kurang bergigi sehingga diganti dengan UU
No. 31 Tahun 1999. Dalam UU ini diatur pembuktian terbalik bagi pelaku
korupsi dan juga pemberlakuan sanksi yang lebih berat, bahkan hukuman
mati bagi koruptor. Belakangan UU ini juga dipandang lemah dan
menyebabkan lolosnya para koruptor karena tidak adanya Aturan Peralihan
dalam UU tersebut. Polemik tentang kewenangan jaksa dan polisi dalam
melakukan penyidikan kasus korupsi juga tidak bisa diselesaikan oleh UU
ini.
Akhirnya, UU No. 30 Tahun 2002 dalam
penjelasannya secara tegas menyatakan bahwa penegakan hukum dan
pemberantasan korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini
terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode
penegakan hukum luar biasa melalui pembentukan sebuah badan negara yang
mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan
manapun dalam melakukan pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah
dikategorikan sebagai extraordinary crime .
Karena itu, UU No. 30 Tahun 2002
mengamanatkan pembentukan pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas
dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi. Sementara
untuk penuntutannya, diajukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK) yang terdiri dari Ketua dan 4 Wakil Ketua yang
masing-masing membawahi empat bidang, yakni Pencegahan, Penindakan,
Informasi dan Data, Pengawasan internal dan Pengaduan masyarakat.
Dari ke empat bidang itu, bidang
penindakan bertugas melakukan penyidikan dan penuntutan. Tenaga
penyidiknya diambil dari Kepolisian dan Kejaksaan RI. Sementara khusus
untuk penuntutan, tenaga yang diambil adalah pejabat fungsional
Kejaksaan. Hadirnya KPK menandai perubahan fundamental dalam hukum acara
pidana, antara lain di bidang penyidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar